Pesantren Sebagai Lembaga Riset


Pesantren dalam menghadapi perubahan dituntut melakukan kontekstualisasi tanpa harus mengorbankan watak aslinya selaku institusi pendidikan keagamaan dan sosial. Pesantren harus membenahi kelemahannya diantaranya dengan peningkatan jiwa enrepreneuship santri melalui pengembangan lembaga riset and development keilmuan dan ekonomi.
Pengembangan lembaga ini sebagai wadah komunisikasi, dialog dan latihan serta pengabdian kemasyarakatan santri baik yang masih menempuh pendidikan maupun yang sudah menyelesaikan pendidikan serta para alumni yang telah mendapatkan pekerjaan di luar pesantren.
Lembaga ini menjadi salah satu pemikiran dari penulis dalam rangka menempatkan pesantren sebagai salau satu pusat peradaban muslim Indonesia. Dengan lembaga ini diharapkan lahir generasi-generasi baru pemikir, sekaligus pelaksana dari apa yang menjadi buah pemikirannnya. Hal ini sebagaimana sejarah Islam pertama hingga masa keemasan zaman umayyah dan abbasiyah yang melahirkan banyak ulama-ulama yang multi pengetahuan baik secara agama maupun umum.
Pemikiran ini berangkat dari konsep bahwa santri sebagai generasi penerus seperti peserta didik lainnya memiliki potensi dan bakat masing-masing dalam hal penguasaan pengetahuan yang sifatnya aplikatif. Jadi penulis memandang bahwa manajemen pengelolaan pendidikan yang berkeadilan dengan melihat potensi yang dimiliki masing-masing individu santri ini perlu mendapat perhatian serius.
Sebagaimana dalam tataran konsep tentang jiwa entrepreneuship yang melekat pada diri manusia yang memiliki potensi dan kemampuan. Potensi kemampuan yang dimiliki tiap individu dalam tingkatan pemahaman suatu ilmu memiliki perbedaan dari sisi gaya belajar dan modalitas belajar terhadap sesuatu yang baru. Proses inilah yang mempengaruhi secara intern intensitas belajar.
Pijakan inilah yang menjadi penawaran dalam pengelolaan pesantren ke depan untuk menggantikan pengelolaan manajemen pesantren yang selama ini merupakan ciri khas dari pemimpin pesantren dalam hal ini kiai kharismatik yang menjadi segala pijakan bagaimana pelaksanaan pesantren akan dilakukan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kegiatan pembelajaran yang dalam bahasa pendidikan disebut sebagai kurikulum menjadi visi, misi, tujuan dan aplikasi kegiatan keseharian.
Ciri khas dari pesantren yang menekankan kemandirian bagi santrinya, termasuk juga dalam menempuh jenjang penguasaan ilmu menurut penulis harus ditinjau ulang dengan sedikit perpaduan pengasahan dan penajaman tematik penguasaan ilmu yang ingin dikuasai dahulu dengan melihat syarat dan ko syarat dari ilmu yang akan dipelajari selanjutnya. Sebagaimana pandangan Imam Al-Ghzali bahwa dalam mengajarkan suatu ilmu kepada anak harus dimulai dari yang mudah menuju yang sukar. Dari penanaman akidah menuju kesadaran sosial.
Perkembangan pesantren sedikit lebih maju yakni telah banyak lahir berbagai pesantren yang disebut pesantren modern dengan memberikan pendidikan agama dan umum serta pengelolaan yang lebih modern dan mengaplikasikan ajaran-ajaran Islam yang aplikatif seperti kedisiplinan tinggi dalam berbagai hal dan peningkatan kesadaran kebersihan di semua bidang, tidak seperti jargon pesantren dahulu yang berslogan “Kebersihan sebagian dari Iman”, namun jika dilihat di lihat di kamar tidur, kamar mandi dan sekitar tempat tinggalnya jauh dari kebersihan.
Fenomena ini lahir dari satu sebab pesantren belum memosikan diri secara penuh sebagai lembaga atau institusi yang disamping mendidik kepada santri-santrinya juga memberikan kontribusi pemikiran keilmuan yang menghasilkan suatu produk berupa konsep pengetahuan dalam bentuk tulisan, fatwa yang dibukukan sebagaimana sejarah masa lampau.
Sehubungan itu dalam rangka mengambil peran yang signifikan dalam percaturan kehidupan yang semakin kompleks ini pesantren dapat memanfaatkan sebagai lembaga yang mempunyai potensi besar dengan berkumpulnya pada ulama dari berbagai disiplin ilmu dan generasi muda yang haus akan pengetahuan difasilitasi suatu tempat dan forum tempat berkumpul bersama untuk membahas, menelaah, berdiskusi, berdebat dan meneliti perkembangan kilmuan yang ada.
Langkah ini dimulai dengan penawaran suatu pengembangan pesantren yang lebih kapabel, fleksibel dan kridibel melaui restrukturisasi pengelolaan pesantren. Penyusunan ulang ini diarahkan pada pengembangan pesantren dari sisi paradigma pendidikan pesantren, manajemen pesantren, sistem pendidikan pesantren dan kurikulum pesantren untuk dikembangkan lebih berkeadilan dengan orientasi pada peningkatan kemampuan santri.
1.      Paradigma Pendidikan Pesantren
Pesantren diakui sebagai salah satu pendidikan keagamaan yang sudah kuat mengakar di masyarakat, hal ini terbukti dari sejarah yang melingkupinya dari sebelum kemerdekaan sampai sekarang masih dapat bertahan dan berkiprah di pentas nasional. Ini terjadi karena pesantren lebih simple dalam menggapai cita dan impiannya yakni sekedar memberikan pelajaran agama pada santri.
Paradigma pengelolaan pesantren yang ada walau secara konseptual tidak diwujudkan dalam bentuk teori dan kata, menurut penulis adalah “paradigma pragmatis keagaaman”. Artinya moto, visi, misi dan tujuannya simple pada pemberian satu keilmuan aplikasi syar’i ibadah mahdah dengan penguatan keilmuan bahasa arab dan kitab kuning. Sehingga dalam proses pengelolaan pendidikan dan pembelajarannya pun sangat praktis tergantung pemahaman dan pengetahuan yang dimili kiai yang memimpin pesantren.
Paradigma ini tidak salah, namun untuk menjadikan pesantren sebagai salah satu pusat peradaban dunia menjadi hal yang mustahil untuk diwujudkan sebab dari sisi tujuan yang ada pun lebih mengarahkan pada penguasaan secara indivualistik walaupun pesan-pesan sosial ada berupa tanggung jawab mengajarkan kepada masyarakat apa yang sudah diketahui.
Dalam rangka menjadi salah satu pusat peradaban muslim, pesantren dituntut peranannya yang lebih kompreherensif dan dinamis dalam menjawab problem ummat. Peranan yang selama ini dilakukan pesantren perlu mendapatkan peningkatan yang lebih baik dari peranan yang sifatnya individual perorangan menuju peranan yang komunal bersistematis. Artinya pesantren mengembangkan berbagai wadah, tempat dan forum yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan dalam memecahkan masalah dan mencari solusi yang selanjutnya dibuat dalam bentuk produk buku dan lain sebagainya.
Peranan ini dimulai dengan mengembangkan paradigma pengelolaan pesantren menuju pemikiran dan arah pendidikan yang sistematis berkesinambungan, dinamis dan kompreherensif. sistematis artinya arah pendidikan lebih disusun dalam tahapan-tahapan pencapaian yang tersusun dalam satu perencaan dan monitoring evaluasi yang baik. Berkesinambungan artinya, arah pendidikan dipadukan dengan berbagai perkembangan keilmuan yang terus berkembang tanpa membatasi diri pada satu keilmuan agama yang sifatnya individualistik, namun juga pada keilmuan agama yang sifatnya sosial. Dinamis artinya, arah pendidikan lebih inklusif, terbuka dan terus mobil tidak terjebak pada satu pemikiran mazhab saja namun dapat menelaah dan mengembakan pemikiran mazhab yang sudah ada sebab ia bukanlah ilmu harga mati yang tidak dapat dikritik. Kompreherensif artinya arah pendidikan lebih dikembangkan pada pembahasan perkembangan ilmu sebab pada dasarnya sumber ilmu itu satu yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang kemudian untuk memudahkan pembahasan di kelompokan dalam berbagai disiplin ilmu tersendiri dan tidak ada halal dan haram dalam ilmu sebab pada dasarnya semua ilmu muaranya menuju pada pengagungan sang khalik-Allah Swt.
Muara dari pemikiran arah pendidikan di atas menuju pada aplikatif keinsanan. Artinya term utama pengelolaa pendidikan apapun namanya baik sekolah, madrasah, pondok pesantren dan lain sebagainya berdasarkan pada akar filsafat aplikasi kesejatian manusia. Pendekatan ini penting dilakukan sebab dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran termasuk di pesantren subyek dan obyek yang ada adalah manusia serta unsur utama pendukung terjadinya proses adalah manusia baik statusnya sebagai pendidik maupun peserta didik. Kesejatian manusia sebagai “Abdullah dan Khalifatullah” yang keduanya tidak dapat berdiri sendiri dan terpisah dan merupakan kesatuan yang merangkai menjadi manusia muttaqin. Berangkat dari hal ini maka paradigma yang perlu dikembangkan oleh sebuah institusi pendidikan adalah melaihat hal ini. Inilah yang dinamakan “paradigma aplikatif keinsanan”.
Pesantren dalam menjalankan kegiatanya terlebih pesantren salaf yang berangkat dari kebutuhan pragmatis berupa menyalurkan ilmu yang sudah dipunya kiai terkadang tidak memikirkan seperti ini bahkan terlalu dianggap hanya membuang energi pemikiran yang penting tujuannya adalah dakwah dan tarbiyah tersampaikan. Sehingga dalam perjalanannya pun, sebuah pesantren akan memiliki arah yang berbeda-beda dari generasi satu ke generasi seterusnya. Lebih-lebih pada dasawarsa sekarang ini, ranah politik sudah masuk bahkan hadir di pesantren akan menjadikan satu warna tersendiri dalam perjalanan pembelajaran yang berlangsung. Bila hal ini terjadi maka arah pendidikan yang dilakukanya pun akan menjadi terhambat untuk bebas berfikir dan berbuat dikarenakan pesan-pesan sponsor dari kekuasan politik yang melingkupi.
            Oleh karena itu dibutuhkan paradigma kritis dalam proses pendidikan. Yaitu paradigma yang memanusiakan manusia. Pendidikan yang berpihak kepada peserta didik untuk mampu bangkit membangun kesadaran sosial, sehingga mampu bangkit untuk melakukan transformasi sosial. Pendidikan yang demikian ini harus dibangun relasi lingkungan dan penciptaan sistem prasarana penyelenggaraan pendidikan yang demokratis. Dalam sistem prasaran yang otoriter dan tidak demokratis, sulit bagi pendidik untuk memerankan peran kritisnya. Dengan demikian langkah strategis terpeniting adalah menciptakan proses belajar yang otonom dan partisipatoris dalam pengembangan kurikulum, dan penciptaan ruang bagi proses belajar bagi perserta didik untuk menjadi diri mereka sendiri. Dengan demikian setiap pendidikan adalah otonom dan unik untuk menjadi diri mereka sendiri. Jika demokratisasi pendidikan terjadi, maka akan melahirkan masyarakat yang otonom dan demokratis pula. Akhirnya masyarakat yang demokratis akan menyumbangkan lahirnya bangsa yang demokratis.
            Dibutuhkan peran pendidik (kyai, guru, tokoh masyarakat) sebagai local leader yang mampu menjadi pendidik-pendidik yang berjiwa kritis dan emansipatoris. Sehingga akan muncul komunitas-komunitas masyarakat yang kritis, otonom dan demokratis. Masyarakat yang terbebaskan dari belenggu-belenggu sistem yang menjajah, karena memiliki kesadaran diri dan mampu melawan sistem yang menjajah tersebut. Sehingga akhirnya akan terjadi proses transformasi sosial sebagai hasil dari proses pendidikan kritis yang membebaskan tersebut.
Untuk itulah dalam rangka mengembangkan pesantren yang dapat dirasakan perannya lebih bebas dan merdeka dalam menelurkan ide-ide, dan produk keilmuannya dikembalikan pada jalur pemikiran perencanaan yang sistematis berkesinambungan, dinamis dan kompreherensif dalam lingkup “paradigma aplikatif keinsanan”.
untuk sampai pada kemampuan mengatur penyelenggaraan dan pendidikan dengan baik di setiap satuan pendidikan tidak terkecuali pesantren diperlukan program yang sistematis dengan melakukan ” capasity building ”Untuk melakukan kegiatan ” capasity building ” perlu tahapan-tahapan agar arahnya terarah dan terukur. Ada empat tahapan yang perlu dilalui untuk kegiatan tersebut. Masing-masing  tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang mempunyai karateristik yang setara. Capasity building dilakukan untuk meningkatkan ( up grade ) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap tersebut adalah, Tahap Pra format, ialah tahap dimana satuan pendidkan belum memiliki standar formal pendidikan masih belum terpenuhi sebagai sumber-sumber pendidikan dan perlu ditingkatkan ke tahap berikutnya. Tahap Formalitas, ialah pesantren yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan secara minimal. Satuan pendidikan tersebut sudah memiliki standar teknis minimal seperti kualifikasi ustadz, jumlah dan kualitas ruang kelas, kualitas buku serta jumlah kualitas pendidikan lainnya. Dengan capasity building pesantren dapat meningkatkan kemampuan administratur dan pelaksanaan pendidikandan dapat meningkatkan pembelajarannya lebih kreatif dan inovatif. Jika satuan pendidikan tersebut sudah berhasil ditingkatkan lagi ke tingkat transisional. Keberhasilan tersebut dapat diukur dengan standar pelayanan minimum tingkat sekolah umum yang telah ada dan dikorelasikan dengan pendidikan pesantren, terutama menyangkut output pendidikan seperti penurunan tingkat putus sekolah, mengulang kelas , kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah. Tahap Transisional, ialah satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal. Meningkatkan kreativitan ustadz , pendayagunaan perpustakaan sekolah secara optimal. Tahap otonomi, pada tahap ini dapat dikatakan pesantren sudah mencapai tahap penyelesaian capasity building menuju profesionalisme pendidikan ke pelayanan pendidikan yang bermutu. Satuan pendidikan sudah dianggap dapat memberikan pelayanan di atas Standar Pelayanan Minimal dan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.  Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu antara lain:
a.       Melaksanakan program menjadi merumuskan/melaksanakan program.
b.      Keputusan terpusat menjadi keputusan bersama/partisipatif.
c.       Ruang gerak terbatas menjadi ruang gerak fleksibel.
d.      Sentralistik menjadi desentralistik.
e.       Individual menjadi kerjasama
f.       Basis birokratik menjadi basis professional
g.      Diatur menjadi mandiri
h.      Malregulasi menjadi deregulasi
i.        Informasi terbatas menjadi informasi terbuka
j.        Boros menjadi efisien
k.      Pendelegasian menjadi pemberdayaan
l.        Organisasi vertical menjadi organisasi horizontal.(Tim, Setrategi Pengembangan Pendidikan Pesantren, http://qistoos.multiply.com/journal/item/15, 21 Feb 2008).
2.      Manajemen Pesantren
Kebijakan dan program-program Departemen Agama dalam rangka mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bermutu mengacu pada tiga pilar pembangunan pendidikan nasional. Pada pilar pertama yaitu perluasan dan pemerataan akses, memberikan kesempatan kepada pesantren-pesantren untuk mengembangkan lembaga pendidikannya sehingga bisa menampung banyak santri (peserta didik), terutama dalam rangka menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Pada pilar kedua yaitu peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan, menghasilkan lulusan pesantren yang setara dengan sekolah maupun madrasah, serta memiliki kemampuan-kemampuan seperti yang diatur oleh undang-undang tanpa mengurangi khittah asli pesantren. Khittah pesantren adalah santrinya mampu mendalami ilmu-ilmu keislaman. Santri di samping mendalami ilmu-ilmu keislaman kalau ingin disetarakan dengan lulusan sekolah atau madrasah, maka harus mengikuti kurikulum-kurikulum tertentu yang didalamnya terdapat keterampilan atau kemampuan yang harus dimiliki. Agar pesantren memperoleh pengakuan kesetaraan dengan lulusan madrasah atau sekolah diberikan sertifikat atau syahadah. Agar syahadah nanti diperoleh lulusan pesantresn diakui sama, maka bukan hanya kurikulum saja, tetapi standar-standar yang ditetapkan oleh pemerintah harus diikuti. Pilar ketiga yaitu peningkatan tata kelola, akuntabilitas, transparansi, dan pencitraan publik, pesantren jangan tergantung kepada orang tetapi kepada suatu sistem. Artinya, tidak tergantung kepada seorang kiyai yang biasanya menjadi pemimpin pesantren. Jika kiyai itu mundur atau meninggal, maka tidak ada penerusnya. Keadaan seperti ini akan menjadikan pesantren mengalami kemunduran. Namun jika tergantung pada sistem, hal seperti ini tidak akan terjadi, karena jika kiyai yang menjadi pengelola pesantren itu mundur atau meninggal, maka masih ada yang akan mengelolanya yaitu orang-orang yang sudah ditentukan. Oleh karena itu di pesantren pun diperlukan manajemen. Dalam manajemen ada ungkapan getting thing done threw to other, membuat sesuatu selesai melalui orang lain. Jadi kalau seseorang ingin membuat sesuatu itu selesai, bukan orang itu yang akan mengerjakannya tetapi orang lain. Kalau orang itu yang mengerjakannya, bukan manajemen namanya tetapi pekerja biasa.
3.      Sistem dan Kurikulum Pendidikan Pesantren
Santri dari berbagai pondok pesantren dinilai kemampuannya bukan hanya di dalam membaca kitab kuning di dalam tingkatan pengetahuan saja, tetapi berbagai tingkatan seperti memahami, menganalisis, serta mengaplikasikan apa yang tertulis dalam kitab-kitab kuning atau yang dituangkan oleh para pemikir Islam shalaf dalam kitab kuning itu. Pemahaman terhadap kitab kuning adalah kemampuan yang dimiliki santri di berbagai pondok pesantren khususnya pondok pesantren yang mengembangkan pendidikan salafiah karena itu pemahaman kitab kuning dianggap tolok ukur keberhasilan para santri di dalam menimba ilmu dalam pesantren.
Meskipun demikian, melihat perkembangan pesantren, meskipun pesantren salafiah tetapi tidak hanya mengembangkan, memahami kitab kuning saja tetapi memahami cabang-cabang ilmu pengetahuan termasuk kategori sains dan teknologi. Namun tetap saja pemahaman kitab kuning dipandang sebagai tolok ukur keberhasilan santri di dalam menempuh pendidikan di pesantren bahkan ketika dia kembali ke masyarakat atau menjadi orang-orang yang membina pesantren biasanya itu menjadi tolok ukur di dalam menilai apakah kiayi atau ustadz yang sebetulnya. Lulusan pesantren itu menguasai ilmu agama atau tidak. . (Tim, Penguatan Kemandirian Pesantren Sebagai Upaya Membangun Bangsa, http://m-ali.net).
Para santri sesungguhnya dituntut memiliki kemampuan bukan hanya memahami kitab-kitab kuning tetapi juga menguasai dan memiliki kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sekarang sedang berkembang sangat pesat. Dengan demikian kemampuan ini bisa memberikan manfaat kepada banyak orang. Biasanya seseorang di masyarakat ukuran kebaikannya dirujukan dari salah satu hadits yang menyatakan “sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi manfaat kepada orang lain”. Kita bisa melihat kenyataan kiyai-kiyai zaman dulu. Dahulu kiyai-kiyai tidak hanya melayani masyarakat mengajarkan kitab kuning semata, ketika ada warga sakit kiyai bisa memberikan pertolongan dan memberikan pengobatan secara tradisional. Bahkan ada keluarga yang bertengkar pun kiyai bisa memberikan konseling keluarga. Artinya kehadiran kiayi memberikan manfaat yang komprehensif di tengah-tengah masyarakat karena memiliki kemampuan komprehensif pula bukan hanya di bidang agama saja tetapi bidang lainnya juga. (Tim, Penguatan Kemandirian Pesantren Sebagai Upaya Membangun Bangsa, http://m-ali.net).
Di pesantren modern dalam sistem pembelajarannya menerapkan pendekatan integratif yaitu tidak adanya dikhotomi ilmu agama dan ilmu umum. Selain belajar Al Quran, Kitab-kitab dan ilmu agama lainya peserta didik pun belajar mata pelajaran lainnya atau pelajaran-pelajaran lainnya, sehingga dapat mengaitkan ilmu-ilmu agama dengan illmu umum atau dengan suasana kehidupan. Ada beberapa kemampuan yang diharapkan dapat dikuasai oleh peserta didik seperti mampu berkomunikasi dalam berbagai bahasa, minimal dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Arab, sehingga mampu berkomunikasi dan membaca kitab-kitab atau teks berbahasa Arab. Selain itu, peserta didik mampu membaca dan memahami Al Quran, dan mengerti terjemahannya. Bisa menjalankan praktek ibadah dengan baik dan benar. Kemampuan lainnya adalah menguasai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti information and communikation technology (ICT). Dengan kemampuan-kemampuan yang dimiliki tersebut dapat memberikan bekal kepada peserta didik berupa perilaku yang berkualitas yaitu yang memiliki sains, ilmu pengetahuan dan teknologinya yang baik dan pemahaman dan pengamalan agama yang taat, baik, dan benar. (Penguatan Kemandirian Pesantren Sebagai Upaya Membangun Bangsa, http://m-ali.net).
Ketika arus global sudah merambah masyarakat secara menyeluruh, pendidikan pesantren dituntut menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap, sehingga saat ini banyak pesantren selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah. (Tim, Penguatan Kemandirian Pesantren Sebagai Upaya Membangun Bangsa, http://m-ali.net).
Dalam pengembangan program pendidikan di pesantren ada hal-hal yang harus di perhatikan oleh pengelola pesantren, yaitu, munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para ustadz pembimbing. (Tim, Penguatan Kemandirian Pesantren Sebagai Upaya Membangun Bangsa, http://m-ali.net).
Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para ustadz. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua sebagaimana pesantren.
Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya bahwa pada dasarnya fokus utama kurikulum dari sisi target materi hanya mengajarkan pada kitab-kitab kuning yang juga menjadi unsur yang melingkupi pesantren. Dari hal ini sebagai penguatan penempatan pesantren sebagai pusat peradaban muslim dalam pembelajarannya, penulis menggaris bawahi dari sisi materi ada beberapa bagian utama kurikulum pesantren yang dapat dikembangkan, yakni :.
a.       Rumpun pendidikan agama Islam
Berisi berbagai pembelajaran dari al-Qur’an-hadits, aqidah, fiqih, sejarah peradaban Islam.
b.      Rumpun pendidikan filsafat, logika, metode
Berisi berbagai pembelajaran penguatan kaidah-kaidah, konsep-konsep dasar yang membangun suatu ilmu.
c.       Rumpun pendidikan eksak dan alam
Berisi berbagai pembelajaran pengetahuan matematis dan pengutan keilmuan manusia dan alam.
d.      Rumpun pendidikan humaniora dan sosial
Berisi berbagai pembelajaran pengetahuan sosial antropologis dan kebudayaan, kesehatan, seni dan olahraga.
e.       Rumpun pendidikan bahasa
Berisi berbagai pembelajaran tentang tata bahasa dan aplikasinya.
f.       Program Pengembangan Diri
Berisi pembelajaran penguatan keberanian untuk mengmbangkan jati diri manusia sebagai makhluk yang dapat bermanfaat bagi sesamanya dalam bentuk aplikasi penguatan potensi bakat keilmuannya.
Dalam pengembangan kurikulum pesantren sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya harus berdasarkan orientasi pendidikan pesantren yang memiliki nilai-nilai keagamaan keIslaman dan berdasarkan semangat prinsip pengembangan keilmuan di pesantren yang bersifat keagamaan Islam. Untuk itulah motivasi yang dibangun dalam penyusunan kurikulum ini harus melandaskan pada arah pendidikan berupa paradigma sebagaimana yang telah ditawarkan. 
Secara operasional pengembangan kurikulum ini dibagi dalam berbagai tingkatan yang berlaku menyeluruh setiap santri mendapatkan dan mempelajari pada tataran pemberian pengetahuan yang sifatnya aplikatif keagamaan dan dasar berbagai pengetahuan dan pemilihan penguasaan ilmu yang menjadi potensi dan movitasi mendalam ingin menguasainya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebijakan & Regulasi Tentang Guru

Pembinaan Guru